Dialektika Identitas dalam Bingkai Perjuangan HMI
Pendahuluan
Hubungan antara Islam dan Indonesia bukanlah pertemuan yang kebetulan, melainkan bagian dari proses historis yang panjang dan penuh dinamika. Sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia memiliki karakter keislaman yang khas—moderat, toleran, dan kontekstual. Dalam konteks ini, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) mengambil peran strategis untuk membumikan nilai-nilai Islam dalam realitas kebangsaan, tanpa terjebak dalam formalisme negara agama maupun sekularisme mutlak (Zarkasyi, 2015).
Islam dan Nasionalisme: Harmoni Bukan Kontradiksi
Materi Keislaman dan Keindonesiaan dalam Senior Course HMI menegaskan bahwa Islam dan nasionalisme Indonesia dapat berdampingan secara konstruktif. Islam yang rahmatan lil ‘alamin tidak mengancam eksistensi negara-bangsa (nation-state), justru menjadi fondasi moral dalam membangun peradaban bangsa yang adil dan berkeadaban (Safi, 2003).
Keindonesiaan bukan sekadar identitas geografis, melainkan kesadaran historis dan komitmen kolektif. Dalam perspektif HMI, keislaman adalah landasan etik-spiritual, sedangkan keindonesiaan adalah ruang aktualisasi perjuangan. Ini sejalan dengan pernyataan Mohammad Natsir bahwa "Islam bukan sekadar agama ritual, tapi jalan hidup (way of life)" dalam bingkai negara bangsa (Natsir, 1950).
Dialektika HMI: Spirit Islam, Arah Perjuangan Bangsa
HMI lahir dalam semangat mempertahankan kemerdekaan dan memajukan umat. Dalam dokumen Nilai Dasar Perjuangan (NDP), HMI menegaskan bahwa perjuangan kader bersifat integratif: membangun umat dan membangun bangsa (PB HMI, 2007). Oleh karena itu, kader dituntut memiliki kesadaran ideologis dan keilmuan dalam membaca realitas sosial-politik Indonesia dari kacamata Islam.
Pendekatan keislaman dalam HMI bersifat substantif, bukan simbolik. Islam harus menjadi spirit pembebasan (liberasi), pemberdayaan (empowerment), dan pencerahan (enlightenment) dalam menjawab tantangan umat dan bangsa.
Tantangan dan Tanggung Jawab Kader
Di era globalisasi dan digitalisasi, integrasi keislaman dan keindonesiaan menghadapi tantangan besar: radikalisme, sekularisme ekstrem, hingga pragmatisme politik. Dalam konteks ini, HMI bukan hanya organisasi kader, tapi juga agen perubahan dan produsen nilai.
Kader HMI perlu menjadi intelektual organik (Gramsci, 1971)—mengakar di tengah umat, berpikir kritis, dan bertindak strategis. Loyalitas pada Islam tidak boleh mengorbankan komitmen kebangsaan; sebaliknya, cinta tanah air tidak boleh membuat lupa pada nilai-nilai ilahiah.
Penutup
Keislaman dan Keindonesiaan bukanlah dua kutub yang saling meniadakan, melainkan dua sisi dari satu mata uang perjuangan. Dalam HMI, keduanya menjadi nafas ideologis yang melahirkan Insan Cita: insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhai Allah SWT.
Daftar Pustaka
Biodata Singkat

Posting Komentar